Higashimatsushima (East Matsushima : “Matsushima” berarti “Pohon Pinus”) adalah kota yang berlokasi di Prefektur Miyagi, Jepang. Kota ini dibentuk pada tanggal 1 April 2005, yang menyatukan dua kota Naruse dan Yamoto. Kota ini memiliki populasi 43.142 jiwa dengan kepadatan 420 penduduk per km² dan luas area 101,86 km².
Kota yang berlokasi diantara Sendai dan Ishinomaki ini memiliki industri utama di bidang pembuatan bejana (laver), aquaculture (tiram/ kerang) dan agriculture (pertanian).
Kota ini merupakan salah satu kota yang terkena dampak pasca gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada11 maret 2011 yang menghantam hampir seluruh daerah Tohoku (utara Jepang). Kota yang menghadap langsung ke samudera pasifik ini mengalami kerusakan yang cukup parah, korban jiwa sebanyak 1.093 orang, 5.499 rumah rusak parah, 11.000 kendaraan hanyut terbawa arus dan berbagai fasilitas publik juga rusak. . 65 % dari kota ini terkena dampak tsunami dan sampai saat ini belum pulih sepenuhnya.
Kota Higashimatsushima sadar bahwa mereka berada di daerah yang rawan bencana, oleh sebab itu mereka sudah mempunyai standar keselamatan yang cukup tinggi. Namun apa yang terjadi pada 11 maret 2011 yang lalu merupakan hal yang diluar kekuasaan mereka.
Di kota ini gempa sangat sering terjadi, dalam satu bulan bisa lebih dari 4 kali. Saat pertama sekali tiba dsini, saya sempat khawatir dan was-was, namun lama kelamaan menjadi terbiasa.
Manajemen Kebencanaan
Ada beberapa hal yang menarik terkait manajemen bencana di kota ini, yang pertama tentu saja faktor pendidikan. Mereka sudah mengajarkan kesadaran tentang bahaya gempa dan cara penanganan/menghadapinya sejak dini, murid-murid disekolah mendapatkan materi khusus terkait masalah ini. Selain itu juga pelatihan/ drill dilaksanakan secara reguler, baik di tingkat sekolah maupun di tingkat komunitas masyarakat.
Kedua, mereka memiliki prosedure SOP (Standar Operasional Prosedur) yang jelas, misalnya untuk program menjaga sesama (caring each other): disetiap komunitas masyarakat diwajibkan mengisi daftar orang yang harus dihubungi secara berantai, sehingga jika terjadi bencana masyarakat akan menghubungi teman atau keluarganya secara berantai . Kemudian jalur evakuasi yang jelas, jika terjadi bencana masyarakat akan langsung berkumpul pada tempat evakuasi yang ditentukan. Di Jepang pada umumnya menggunakan bangunan sekolah sebagai pusat evakuasi. Oleh karena itu bangunan sekolah di Jepang memiliki struktur yang kuat/ tahan gempa dan berada pada daerah yang tinggi/ jauh dari bibir pantai. Sekolah juga dilengkapi peralatan komunikasi radio dan cadangan makanan untuk bertahan selama beberapa hari.
Prosedur lainnya adalah mengenai aturan bagi para murid sekolah, sebelum bencana pada 11 Maret 2011, pihak orang tua diperkenankan untuk menjemput muridnya disekolah pasca bencana. Namun pengalaman membuktikan bahwa hal ini tidak efektif, karena kebanyakan korban yang jatuh pasca gempa dan tsunami 2011 dikarenakan para murid dijemput oleh orang tuanya dan berada di luar lingkungan sekolah, baik korban dikarenakan gelombang tsunami maupun korban dikarenakan kepanikan di jalan raya. Sehingga pemerintah Jepang mengeluarkan regulasi baru bahwa setiap terjadi bencana pada jam sekolah maka setiap murid wajib berada disekolah sampai keadaan aman, dan orang tua murid dapat mendampingi mereka.
Ketiga peralatan yang memadai. Disetiap kawasan pemukiman penduduk memiliki pengeras suara yang dilengkapi dengan sirine. Setiap peringatan akan bahaya bencana atau pengumuman keadaan pasca bencana akan diumumkan melalui media ini. Selain itu juga terdapat warning/peringatan dari pemerintah melalui telepon seluler jika terjadi gempa/ bencana yang dianggap membahayakan. Dengan berbagai media ini lebih memudahkan masyarakat untuk mengetahui mengenai kondisi (kekuatan gempa dan resikonya) dan mempercepat proses evakuasi.
Keempat, melakukan kerjasama dengan kota lain. Secara geografis, posisi kota dapat dibagi dua yaitu kota yang berada di pegunungan dan kota yang berada di pesisir pantai. Dari faktor inilah, kota Higashimatsushima yang berada di garis pantai menjalin kerjasama dengan kota – kota yang berada di pegunungan. Sehingga kedua belah pihak dapat saling membantu, jika terjadi bencana di daerah pegunungan, seperti gunung meletus ataupun tanah longsor, kota Higashimatsushima dapat langsung menyalurkan bantuan dan menyiapkan fasilitas bagi para pengungsi jika dibutuhkan. Dan begitu juga sebaliknya jika terjadi bencana di daerah pesisir pantai.
Kelima, adalah melakukan kerjasama dengan pihak ketiga/ swasta. Pemerintah kota Higashimatsushima telah membentuk 80 grup sadar bencana yang tersebar di masyarakat. Disetiap grup ini terdapat gudang kecil tempat menyimpan cadangan makanan. Namun selain itu pemerintah kota juga memiliki sebuah pusat penyimpanan makanan dan peralatan yang berada di daerah yang jauh dari pantai. Fasilitas ini dimiliki oleh pemerintah namun dikelola olah perusahaan swasta SAGAWA Company yang merupakan perusahaan ekspedisi/pengiriman barang yang cukup terkenal di Jepang. Pemerintah kota Higashimatsushima menilai sangat penting untuk melakukan kerjasama ini, mengingat perusahaan swasta tersebut memiliki cukup banyak armada untuk mendistribusikan barang dan sudah berpengalaman menghadapi situasi darurat.
Banda Aceh dan Higashimatsushima pasca tsunami
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sebelum dan pasca bencana, baik di kota Banda Aceh maupun di Higashimatsushima. Namun ada beberapa hal yang sangat menarik untuk kita bahas.
Hal yang pertama adalah terkait respon pasca bencana tsunami. Dikota Banda Aceh sebagaimana kita ketahui, masyarakat sangat bergantung pada bantuan yang diberikan oleh pihak asing. Sekitar 500 organisasi/institusi dari berbagai Negara datang mengirimkan bantuannya untuk Aceh. Sementara dipihak lain di kota Higashimatsushima lebih bergantung pada bantuan lokal, 3 hari pertama pasca gempa, masyarakat mengkonsumsi makanan yang mereka simpan di emergency storage. Setelah hari ke-3 baru mereka mendapatkan supply bantuan dari pemerintah pusat.
Kemudian periode rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada periode ini, pemerintah pusat melalui presiden SBY membentuk organisasi/lembaga khusus untuk memudahkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Lembaga tersebut adalah BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) yang merupakan lembaga setingkat menteri, bahkan ada beberapa kalangan yang menilai bahwa lembaga ini sedikit lebih tinggi dari lembaga kementrian. Saat itu pemerintah Indonesia menilai bahwa pada situasi khusus (darurat) dibutuhkan suatu lembaga khusus dan aturan khusus untuk lembaga tersebut, guna mempercepat proses pembangunan pasca bencana. Sehingga dapat sama-sama kita lihat bahwa pembangunan berlangsung sangat cepat. Dan memang tujuan BRR ini adalah mengembalikan kehidupan rakyat kepada kondisi sebelum bencana secepat mungkin. Disisi lain, pemerintah Jepang sangat cepat bereaksi untuk membangun perumahan sementara, sekitar 5 bulan pasca bencana di Tohoku (utara jepang) semua penduduk sudah menempati perumahan sementara (temporary house), jalan-jalan sudah selesai diperbaiki kurang dari 1 bulan, proses pembersihan puing-puing bangunan juga sangat cepat. Untuk perencanaan pembangunan pasca bencana, pemerintah Jepang juga membentuk sebuah Badan Rekonstruksi yang dikenal dengan Fukkocho. Badan ini bertugas menyiapkan anggaran dan bersama-sama pemerintah kota dan propinsi menyiapkan pembangunan kota yang lebih baik dari sebelumnya.
Proses pembangunan kembali Jepang ini juga melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini tentunya sangat baik bagi konsep kota masa depan, dimana perencanaanya tidak hanya melibatkan Pemerintah semata, namun juga masyarakat yang terkena dampak gempa dan tsunami. Namun disisi lain, kondisi saat ini di Jepang masih jauh dari ideal. Setelah lebih dari 3 tahun pasca musibah tsunami, masyarakat masih tinggal di perumahan sementara, proses perencanaan kota yang baru ternyata membutuhkan proses yang cukup panjang. Salah satu faktor utama adalah: terlalu banyak stake holder (Badan rekonstruksi, Pemerintah propinsi, pemerintah kota, masyarakat dan perusahaan BUMN Jepang) yang mengambil bagian dalam setiap proses, mulai dari perencanaan sampai implementasi.
Dari sini dapat kita pahami bahwa proses yang telah dilakukan oleh masing-masing negara memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan hal ini tentunya dapat dipadukan untuk mendapatkan sebuah konsep yang nyata dan dapat digunakan sebagai sebuah referensi baru yang terkait dengan manajemen kebencanaan.
Bencana memang sesuatu yang tidak kita harapkan, namun posisi negara kita yang kebetulan hampir sama dengan Jepang dengan tingkat resiko bencana yang cukup tinggi seharusnya membuat kita sadar akan langkah-langkah penurunan efeknya, tentunya hal ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah semata, namun juga setiap individu di masyarakat memiliki perannya masing-masing. Hal yang sudah dilakukan di Jepang tidaklah begitu luar biasa, namun mereka melakukannya dengan keyakinan, keteguhan serta keseriusan. Dan Kitapun pastinya dapat melakukan seperti yang dilakukan di Jepang, tentunya dengan dukungan, partisipasi dan komitmen semua pihak.